Gambar Sampul Bahasa Indonesia · BAB 2 SENI ITU INDAH
Bahasa Indonesia · BAB 2 SENI ITU INDAH
Dwi Hariningsih Bambang Wisnu Septi Lestari

24/08/2021 14:36:12

SMP 9 K-13

Lihat Katalog Lainnya
Halaman

Bab 2 Seni itu Indah

17

SENI ITU INDAH

2

Bab

17

Kata Kunci

Kata Kunci

karya seni

syair

cerpen

Memuji dan Mengkritik Karya

Mendengarkan Syair

Menentukan Tema Kumpulan Cerpen

Materi dalam bab ini:

tokoh

dialog

seni musik

sebuah lukisan yang indah

seni lukis

seni ukur

sastra

Sumber: http://www.javaexclusive.com

Bahasa Indonesia IX SMP/MTs

18

Peta Konsep

Bab 2

Seni itu Indah

Menulis dan Mengkritik

Mendengarkan Syair

Membaca Kumpulan

Cerpen

Memuji dan mengkritik

karya (seni/produk)

dengan bahasa yang

lugas dan santun

Menentukan tema

atau pesan

Menentukan tema, latar,

dan penokohan

Bab 2 Seni itu Indah

19

Karya seni adalah ciptaan yang dapat menimbulkan rasa indah bagi

orang yang melihat, mendengar, atau merasakannya. Karya seni memang

indah untuk dinikmati. Karya seni tidak hanya terbatas pada karya sastra,

tetapi juga seni yang lain, seperti seni lukis, seni musik, dan seni ukir. Kamu

tentu pernah melihat salah satu produk seni tersebut.

Secara sadar atau tidak, ketika melihat suatu produk seni, misalnya

lukisan, kamu akan melakukan penilaian meskipun sekadar mengatakan

“Wah, lukisannya bagus” atau ”lukisannya kurang bagus”.

Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia

, kritik adalah kecaman atau

tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk

terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Kritik yang baik

adalah apabila disampaikan dengan kalimat yang tepat dan santun serta

bersifat membangun. Oleh karena itu, kita harus dapat memilih kata yang

tepat sehingga tidak menyinggung perasaan. Kritik bersifat membangun

adalah kritik yang dapat membantu untuk berkarya lebih baik atau menjadi

lebih baik lagi setelah mengetahui kekurangan dan kelebihan hasil karyanya.

Pujian merupakan pernyataan atau perkataan yang tulus akan kebaikan,

kelebihan, atau keunggulan suatu hasil karya. Pada pembelajaran ini kamu

akan berlatih untuk menyampaikan kritik dan pujian terhadap suatu karya.

Sampaikan kritik dan pujian itu dengan wajar, dan tepat serta menggunakan

bahasa yang lugas dan santun.

Perhatikan karya seni di bawah ini.

Memuji dan Mengkritik Karya

A

Tujuan Pembelajaran:

Siswa diharapkan dapat mengkritik/memuji karya (seni atau produk) dengan bahasa yang lugas

dan santun.

Bahasa Indonesia IX SMP/MTs

20

Tugas

1. Carilah sebuah puisi atau karya yang lain di surat kabar atau majalah!

2. Berikan pujian dan kritik terhadap karya tersebut dengan bahasa yang lugas dan santun!

Mendengarkan Syair

Tujuan Pembelajaran:

Siswa diharapkan dapat menentukan tema dan pesan yang diperdengarkan.

B

Sajak Sutarmanto

Ketika TuhanTertawa

Ranting-ranting subuh tegak ternganga

perjalanan menyusur legam kembara

mengoyak harap, hilang kisaran

segala yang ditumbuhkan malam

terbabat elang-elang

pada belantara tak bernama

lelaki tua menenteng tangan dan kakinya

bertanya lagi tentang diri sendiri

daun-daun luruh

dibangkitkannya, direnda ukiran di lusuh baju

saksikan orang-orang pulang

tanpa kenangan

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut!

1. Berikan dua kalimat yang berisi kritik terhadap puisi tersebut!

2. Berikan dua kalimat yang berisi pujian teradap puisi tersebut!

3. Sampaikan kritik dan pujian yang sudah kamu tulis tersebut secara lisan di depan kelas!

1. Jelaskan lukisan tersebut dengan bahasamu!

2. Berikan tanggapan terhadap lukisan tersebut! Sukakah kamu terhadap lukisan tersebut!

3. Berikan dua kalimat yang berisi pujian terhadap lukisan tersebut!

4. Berikan dua kalimat yang berisi kritik terhadap lukisan tersebut!

5. Mengapa memuji atau mengkritik harus menggunakan bahasa yang lugas dan santun?

Kamu tentu pernah mendengarkan pembacaan syair. Syair merupakan

salah satu jenis puisi lama yang sangat terkenal. Syair berasal dari

kesusastraan Arab, dari kata

syu’ur

yang artinya perasaan.

LL

LL

L

atihan 2.2atihan 2.2

atihan 2.2atihan 2.2

atihan 2.2

Bacalah sajak berikut ini!

Bacalah sajak berikut ini!

Bacalah sajak berikut ini!

Bacalah sajak berikut ini!

Bacalah sajak berikut ini!

LL

LL

L

atihan 2.1atihan 2.1

atihan 2.1atihan 2.1

atihan 2.1

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut!

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut!

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut!

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut!

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut!

Bab 2 Seni itu Indah

21

Ciri-ciri syair, antara lain sebagai berikut

1. Setiap bait terdiri atas empat baris.

2. Setiap baris terdiri atas 8 sampai 14 suku kata.

3. Semua baris merupakan isi.

4. Syair bersajak aaaa.

5. Setiap bait syair tidak dapat berdiri sendiri.

6. Biasanya, setiap baris terdiri atas empat kata.

Dengarkan pembacaan penggalan syair berikut ini!

Syair Abdul Muluk

Berhentilah kisah raja Hindustan,

Tersebutlah pula suatu perkataan,

Abdul Hamid Syah paduka Sultan,

Duduklah baginda bersuka-sukaan.

Abdul Muluk putra baginda,

Besarlah sudah bangsawan muda,

Cantik menjelis usulnya syahda,

Tiga belas tahun umurnya ada.

Parasnya elok amat sempurna,

Petah menjelis bijak laksana,

Memberi hati bimbang gulana,

Kasih kepadanya mulya dan hina.

”Syair Abdul Muluk” menceritakan kisah seorang putra raja Hindustan

yang bernama Abdul Muluk. Dia adalah putra Abdul Hamid Syah. Abdul

Hamid Syah sangat bergembira melihat anaknya sudah cukup dewasa. Pada

saat mencapai usia tiga belas tahun, ia tampak sudah sangat dewasa. Selain

pemikirannya yang cemerlang, parasnya yang tampan, ia juga sangat bijak

dalam menghadapi banyak persoalan sehingga banyak orang yang

mengagumi dan menyukainya.

Tema ”Syair Abdul Muluk” adalah kisah putra raja yang bijak. Pesan

atau amanatnya adalah hendaklah kita menjadi orang yang bijak dan baik

budi agar dicintai sesama.

1. Siapakah Abdul Muluk?

2. Bagaimanakah sifat Abdul Muluk?

3. Di manakah keberadaan Abdul Hamid Syah?

4. Tuliskan makna kata di bawah ini

baginda

:

...................

bangsawan : ...................

menjelis

: ...................

paras

: ...................

petah

:

...................

5. Tulislah kembali isi syair Abdul Muluk dengan bahasa sendiri!

LL

LL

L

atihan 2.3atihan 2.3

atihan 2.3atihan 2.3

atihan 2.3

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!

Bahasa Indonesia IX SMP/MTs

22

Pada Pelajaran 1 kamu telah mengikuti kegiatan menceritakan kembali

isi cerpen. Tentunya, kamu telah banyak membaca cerpen. Kamu akan

dapat memperoleh cerpen dari kumpulan cerpen. Cerpen yang dimuat

dapat berasal dari satu pengarang dan juga dapat merupakan karya dari

beberapa pengarang. Setiap pengarang pada umumnya memiliki kekhasan

gaya bercerita yang membedakan dengan pengarang yang lain, misalnya

dalam memilih tema, melukiskan penokohan, menampilkan latar,

penggunaan gaya bahasa, dan mengungkapkan amanat.

Bacalah dengan cermat cerpen dalam kumpulan cerpen

Rindu Ladang

Padang Ilalang

karya M. Fuadi Zaini berikut ini!

Bacalah penggalan syair di bawah ini!

Inilah gerangan suatu madah,

mengarangkan syair terlalu indah,

membutuhi jalan tempat berpindah,

di sanalah iktikad diperbetuli sudah.

Wahai muda, kenali dirimu,

ialah perahu tamsil tubuhmu,

tiadalah berapa lama hidupmu,

ke akhirat juga kekal diammu

1. Tuliskan makna kata-kata di bawah ini!

Gerangan

:

................

Madah

: ................

Iktikad

:

................

Tamsil

:

................

Kekal

:

................

2. Tentukan tema syair di atas!

3. Tentukan amanat atau pesan syair di atas!

4. Jelaskan isi syair di atas dengan menggunakan bahasamu sendiri

LL

LL

L

atihan 2.4atihan 2.4

atihan 2.4atihan 2.4

atihan 2.4

Tugas

Carilah syair di perpustakaan sekolahmu! Tentukan isi syair tersebut, kemudian tentukan

pula tema dan pesan syair tersebut!

Menentukan Tema Kumpulan Cerpen

Tujuan Pembelajaran:

Siswa diharapkan dapat menentukan tema, latar, dan penokohan pada cerpen-cerpen dalam satu buku kumpulan cerpen.

C

Bab 2 Seni itu Indah

23

1. Cerpen ”Warisan”

WARISAN

Barham betul. Ia punya hak atas sebagian harta yang cukup banyak itu.

Kira-kira empat sampai lima miliar rupiah.

“Lumayan kan, Mas?” katanya padaku.

“Bukan lumayan lagi,” kataku. “Untuk ukuran saya, itu sudah luar biasa.

Maklum, saya kan tidak kaya seperti Anda.”

Ia tertawa, mungkin senang dan bercampur bangga. Aku pun tersenyum.

“Tapi masalahnya tak semudah yang kita kira,” katanya kemudian agak

kendor.

“Kenapa?”

“Begini. Ternyata kakak saya itu bangsat juga, bahkan bangsat besar.

Harta itu ia kuasai sendiri. Ia tidak mau membaginya menurut hukum waris.

Dan saya hanya dijatahnya tiap bulan tak lebih dari delapan ratus ribu. Adik

perempuan saya lebih sedikit lagi.”

“Lumayan juga .”

“Lumayan bagaimana? Apa artinya uang segitu dibanding dengan

keuntungan yang ia peroleh tiap bulan dari harta yang belasan miliar itu? Tiap

bulan ia dapat puluhan atau mungkin ratusan juta.”

“Lalu?”

“Ya, tak ada lalunya. Sampai sekarang pun saya sudah kawin dan punya

dua orang anak, saya masih juga dijatah segitu.”

Aku tak habis mengerti. Bagaimana seorang kakak memperlakukan adik-

adiknya demikian. Begitu tega ia menguasai sendiri harta warisan dari

ayahnya. Adik-adiknya hanya dijatahnya dengan jumlah yang tidak begitu

banyak.

* * *

Barham betul. Ia punya hak penuh atas harta bagian warisannya itu. Dapat

dimengerti kalau ia sampai begitu jengkel dan marah. Semua itu ia lampiaskan

di hadapanku.

“Bahkan ibu saya, ibunya sendiri ia jatahi juga seperti seorang anak kecil.”

“Terlalu, “ kataku.

“Terlalu sekali,” sambungnya. “Kalau sedikit saja ia punya rasa

perikemanusiaan, ia tak akan berbuat begitu. Tak usahlah kita bicara tentang

rasa keagamaan atau iman atau yang semacamnya. Saya kira ia sudah buta

tentang itu.”

Sekali lagi Barham memang betul. Ia melampiaskan semua itu di

hadapanku. Tetapi, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku tidak punya

kekuasaan yang bisa memaksa kakaknya itu. Aku hanya salah seorang teman

dekatnya. Walau kami pernah belajar di luar negeri dulu, Barhan memang

pernah tinggal satu flat denganku. Ia seorang yang baik dan cukup cerdas.

Hanya saja ia agak penggugup dan penakut. Kabarnya karena ayahnya amat

keras kepada anak-anaknya, termasuk Barham. Mungkin jiwa Barham tidak

begitu kuat menghadapi guncangan-guncangan itu. Hal itu tampak jelas dalam

gerak-gerik dan perilaku Barham sehari-hari.

* * *

Bahasa Indonesia IX SMP/MTs

24

Contoh-contoh dapat banyak kita temukan. Kalau Barham, misalnya,

kusuruh cepat-cepat mendaftar masuk universitas, dengan serta-merta ia

menolak dengan berbagai macam alasan.

“Nanti, tahun berikutnya saja, Mas,” katanya padaku.

“Kenapa?” tanyaku

“Saya harus memperkuat bahasa dulu.”

“Saya kira sekarang sudah cukup. Dan itu dapat terus diperbaiki dan

disempurnakan sambil jalan.”

“Wah, itu yang saya tidak sanggup.”

“Kenapa tidak?”

“Ya, begitulah. Lebih baik saya tangguhkan dulu.”

“Teman-teman dari Eropa, Jepang, dan Afrika, bahasa mereka sudah

cukup baik dengan hanya belajar rajin dalam waktu beberapa bulan saja.

Kenapa kita harus menghabiskan setahun lebih hanya untuk itu?”

Namun ia tetap tidak mau. Sebenarnya, ia hanya kurang berani. Tatkala

sudah masuk universitas pada tahun berikutnya, kuliahnya juga agak tersendat-

sendat. Dekat-dekat waktu ujian, ia sudah sakit. Sakitnya macam-macam.

Saya kira sebenarnya hanyalah karena faktor psikologis. Ia takut menghadapi

ujian-ujian itu dan agaknya ia dapat pelarian yang cukup aman dengan jalan

sakit itu.

* * *

Tatkala suatu kali, ia dapat telegram bahwa ayahnya meninggal, langsung

ia mau ambil keputusan pulang.

“Tapi kembali lagi kan?” tanyaku serius.

“Tidak, Mas,” katanya. “Saya tak akan kembali lagi.”

“Lantas studimu ditinggalkan?”

“Ya, apa boleh buat.”

“Kan sayang sekali, setahun lagi Anda dapat tamat.”

“Tak apalah. Saya harus pulang dan membereskan harta warisan dari

ayah saya. Ayah saya meninggalkan warisan yang cukup banyak.”

* * *

Memang sayang sekali ia tidak melanjutkan studinya. Namun, aku tidak

dapat memaksanya. Aku hanya seorang teman dekatnya. Kami pun berpisah.

Cukup lama juga kami berjauhan satu sama lain. Manalagi ia jarang sekali

menulis surat. Namun sayup-sayup, aku masih dengar juga berita tentangnya

dari teman-teman yang lain.

Waktu aku pulang, ia cukup sering datang ke rumahku. Tak lain yang

dilampiaskannya hanyalah soal harta warisan itu. Tampaknya penyakit gugup

dan takutnya sudah agak banyak berkurang sekarang. Ia sudah kawin dan

punya anak dua yang mungil-mungil.

“Lantas bagaimana rencana Anda menghadapi soal warisan itu

sekarang?” tanyaku dengan nada mau ikut cari jalan keluar.

Ia diam beberapa saat, seperti sedang berpikir berat dan kemudian mau

mengatakan sesuatu, tapi tampaknya ragu-ragu.

“Katakan saja kalau ada sesuatu yang mau dikatakan,” kataku lagi.

“Sebetulnya, saya sudah punya rencana yang sudah lama saya pikirkan.

Saya sudah nekat mau melaksanakan hal itu. Hanya saja saya ragu-ragu

mengatakannya kepada Mas, mungkin Mas tak akan setuju.”

“Apa itu?”

Bab 2 Seni itu Indah

25

“Saya mau santet kakak saya itu.”

“Membunuhnya?”

“Tak ada jalan lain, saya kira.”

“Kan begitu itu tidak boleh dalam agama?”

“Dan yang ia perbuat, apa termasuk dibolehkan?”

Aku mencoba mendinginkannya. Kukatakan, tujuan baik harus dilakukan

dengan cara yang baik pula. Kalau ada orang gila, kita tak usaha ikut-ikut gila,

kataku. Ia masih tetap ngotot. Lantas ia bercerita. Bahwa sebelum itu, ia telah

berusaha menempuh jalan baik dan damai. Seorang ustad ia minta untuk

menasihati kakaknya agar mau membagi harta warisan itu. Kabarnya, menurut

ustad itu, kakaknya sudah punya itikad baik untuk melaksanakannya. Namun,

setelah sekian lama ia tunggu-tunggu, tak suatu apa pun terjadi. Kembali ia

memanggil ustad itu untuk menasihati lagi kakaknya. “Insya Allah berhasil,”

kata ustad. Namun, yang diharapkan tak pernah juga terjadi.

“Ustad itu hanya mengeruk duit saja,” umpatnya padaku.

“Berapa yang ia ambil?”

“Lima ratus ribu. Itu tarif dia dan tak dapat ditawar-tawar. Harus bayar di

depan lagi.”

“Ia yang menentukan?”

“Siapa lagi? Ustad apa namanya kalau begitu, Mas?”

“Mungkin ustad calo duit.”

“Bahkan akhirnya ia bicara kecil begitu: kalau saya bersedia memberinya

satu miliar dari bagian warisan yang akan saya terima, ia bersedia

mengurusnya sampai tuntas. Hebat nggak? Saya pura-pura nggak ngerti saja.”

Cukup prihatin juga melihatnya. Ia tunjukkan kepadaku daftar kekayaan

warisan ayahnya itu. Sejumlah toko besar yang terletak di sebelah jalan utama.

Sejumlah rumah mewah dengan segala macam perabotnya. Semua itu

disewakan atau dikontrakkan. Sejumlah sawah dan perkebunan kopi, kapal

laut pengangkut barang dan orang, dan masih banyak lagi. Kagum juga aku

dibuatnya. betapa kayanya sang ayah, ini menurut ukuranku, sampai

mempunyai harta yang beraneka ragam itu. namun setelah kematiannya, anak-

anaknya jadi bersengketa.

“Begini saja,” kataku seperti menemukan sesuatu.

“Bagaimana kalau dituntut saja melalui pengadilan?”

Ia tiba-tiba saja tertawa.

“Pengadilan?” katanya dengan nada sinis.

“Ya, kenapa?”

“Sudah juga, Mas. dan menemui kegagalan dan jalan buntu. sebab semua

oknum yang berkaitan dengan pengadilan itu sudah tersumpal semua mata

dan mulut mereka dengan hanya beberapa juta untuk masing-masing. Kakak

saya sudah menyogok mereka semua, hingga semua berpihak kepadanya.

Malah saya yang lantas sesudah itu mau disalahkan dan

diuber-uber

. Hampir

saja saya kewalahan dalam hal ini. Bayangkan, saya yang tak bersalah malah

diuber-uber

terus.”

“Lalu?”

“Ya terpaksa juga saya sumpal polisi yang selalu

nguber

saya itu, walau

tidak dengan jutaan, apa boleh buat.”

Bahasa Indonesia IX SMP/MTs

26

“Jadi, saling main sumpal dari sana dan sini,” kataku sambil tersenyum.

“Yang enak yang di tengah-tengah, yang menerima sumpal itu.”

“Dunia sudah benar-benar sinting. Enak dulu waktu masih jadi mahasiswa

di luar negeri kan? Tiap harinya hanya pergi kuliah, dan tiap bulan terima

beasiswa. Beres, tanpa memikirkan masalah-masalah yang jungkir balik dan

absurd.”

* * *

Lalu diceritakannya padaku tentang kegiatan kakaknya belakangan ini. ia

baru saja selesai bikin sebuah masjid yang cukup besar, tak jauh di seberang

jalan di depan rumahnya. Juga tiap tahun ia pergi naik haji bersama seluruh

keluarganya. Tiap hari kopiah hajinya tak pernah lepas dari kepalanya. Dan

sebuah tasbih cukup besar dan panjang selalu dibawanya ke mana-mana.

“Yang begitu itu toh hanya ngibuli agama dan orang awam saja kan? Kalau

ia betul-betul ikhlas menjalankan agama, kan ia harus baik terhadap

sesamanya dan terutama sekali terhadap adik-adiknya. Dan harus

melaksanakan hukum waris yang sudah ditentukan juga oleh agama kan?

tapi ia menjalankan semua itu hanya untuk kedok belaka. Sementara batinnya

penuh keserakahan dan kebusukan.”

“Tapi Tuhan kan tak dapat ditipu?”

“Betul. Tapi Tuhan juga belum mau menolong saya, walau saya dalam

keadaan teraniaya. Hampir tiap hari saya salat tahajud, minta agar harta bagian

warisan saya itu benar-benar saya miliki. tapi hasilnya nol belaka.”

“Hm, Anda ternyata juga kurang ikhlas. Salat dan yang semacamnya itu

memang bagian tugas kita, bukan untuk minta-minta harta. Minta saja

keselamatan dunia dan akhirat dengan penuh tulus dan ikhlas, itu sudah

mencakup semuanya. Dan jangan melupakan usaha nyata tentunya. Itulah

kewajiban kita.”

Ia masih tampak sebal juga. Dan tak habis-habisnya mengomeli kakaknya

dan dunia sekelilingnya yang sudah ia anggap sinting dan gila itu. Ia pulang.

Sebelum keluar pagar halaman, sempat kukatakan padanya agar ia

melupakan saja rencananya untuk menyantet kakaknya itu. Ia hanya diam

dan tak memberikan komentar. Lama ia tidak muncul lagi ke rumah. Ada

barangkali lima minggu. padahal biasanya paling tidak seminggu sekali ia

datang. Aku juga tidak begitu mempedulikannya.

Sampai suatu pagi tiba-tiba ia datang seperti terburu-buru dan terengah-

engah.

“Celaka Mas, celaka besar!”

“Ada apa?” tanyaku.

“Kakak saya.”

“Ya, kenapa?”

“Tadi malam tiba-tiba ia datang ke rumah saya dengan keluarganya.

Katanya, belakangan ini ia selalu kedatangan ayah kami dalam mimpi dan

selalu dimarah-marahi. ia mulai jadi takut dan mulai jadi sadar.”

“Berita gembira?”

Ia mengangguk kecil, tapi wajahnya kelihatan hambar dan malah sedih.

“Kalau begitu, senyum dong. kan itu bukan sesuatu yang celaka.”

“Tapi, tapi benar-benar celaka!”

“Apanya? Kan tak lama lagi Anda akan jadi seorang konglomerat!”

Bab 2 Seni itu Indah

27

“Ya, tapi ...”

“Tak usah susah dengan harta yang cukup banyak itu. kalau diperlukan,

saya bersedia jadi sekretaris anda. kan dapat juga kecipratan!”

“Bukan itu, Mas.”

“Tak usahlah. kita bergembira saja, bersyukur kepada Tuhan yang telah

memberikan petunjuk kepada kakak Anda, hingga terbuka hatinya ke jalan

yang benar.”

“Ya, tapi ..., tapi saya telah melakukannya.”

“Melakukan apa?”

“Saya ... telah suruh santet kakak saya semalam sebelum ia datang ke

rumah. Saya tidak tahu.”

“Apa?” aku terbelalak seketika.

Tidak tahu aku apa yang mesti kulakukan. Aku hanya terhenyak lemas di

atas kursi. Dalam benakku, aku hanya berdoa mudah-mudahan santetnya itu

tidak mempan atau tidak mandi. itu saja.

2. Cerpen Suminten

SUMINTEN

Suminten mau membuka seluruh bajunya di hadapanku. Kukatakan tidak

usah.

“Kan Bapak harus liat semua bekas pukulan itu.”

“Tapi tak perlu semuanya. Yang saya lihat sudah cukup meyakinkan.”

Ia membetulkan lagi bajunya, lalu duduk.

“Sudah berapa lama kerja sama dia?”

“Setahun lebih.”

“Ya. Kalau tidak dipukuli, paling tidak dicaci maki habis-habisan. Saya

seperti tak ada harganya lagi.”

“Oo, ya, Nona siapa?”

“Howeida.”

“Memang belum kawin?”

“Kawin sih sudah, nikah barangkali yang belum,” ia sambil tersenyum.

Aku pura-pura kurang memperhatikan. Dapat juga ia melucu dan sedikit

nakal. Kusuruh seorang pembantuku untuk membelikan sarapan. Setelah

kutanya ia bilang, sejak dari tadi ia belum makan pagi.

* * *

Kadang-kadang aku memang jengkel juga menangani hal-hal yang seperti

itu. Sebenarnya itu bukan tugasku. Tapi karena apartemenku hanya beberapa

puluh meter dari kantor, aku yang selalu kebagian getahnya. Hari ini hari libur.

Biasanya aku tidur sampai agak siang. Namun tadi pagi masih cukup gelap

bel pintuku sudah berdering-dering terus. Bukan itu saja. Karena aku pura-

pura tidak mendengar dan membiarkan bel itu terus berbunyi, akhirnya pintuku

juga digedor. Aku bangkit dan membuka pintu.

“Ada apa sih, pagi-pagi buta begini?” kataku jengkel.

“Maaf Tuan, saya terpaksa gedor pintu Anda. Seperti biasa, seorang TKW

melarikan diri. Ia ketakutan sekali, dan sebaiknya Anda datang menemuinya

walaupun hanya sebentar.”

“Fakih tidak ada?”

Bahasa Indonesia IX SMP/MTs

28

“Sudah saya telepon tadi. Tapi kata pembantunya, ia sekeluarga sudah

berangkat ke luar kota.”

“Pak Gatot?”

“Juga sama.”

Busyet! Pikirku sambil menggerutu sendiri. Tentu mereka ke pantai. Tak

ada sempat lagi dalam musim panas begini. Karena aku satu-satunya yang

ada dalam satu kantor, akulah yang dipanggil. Penjaga itu memang tak salah,

ia hanya menjalankan tugas.

* * *

Seperti biasa, aku datang sambil bersungut-sungut. Menyuruh orang itu

duduk di kursi berhadapan denganku. Tanya namanya, Suminten. Mengapa

lari dari majikan, ia bilang, sudah tak tahan lagi karena selalu dicaci maki dan

dipukuli. Sudah berapa lama tiba di sini? Baru beberapa bulan. Sebelumnya

di Jedah. Di sana semua saudara majikannya juga memukulinya. Bangsat!

Pikirku, manusia mereka anggap seperti anjing saja mentang-mentang mereka

punya duit berlimpah. Gaji selalu dibayar penuh? Kalau soal gaji

sih

baik,

tetapi sekali lagi saya selalu dipukuli. Lalu ia membuka lengannya, pertama

yang kanan,kemudian yang kiri. Menyusul kemudian bahu, lalu punggung, lalu

betis kanan dan kiri. Tambah ke atas, lutut, ke atas sedikit, lalu ia mau

membuka seluruh tubuhnya dengan begitu polos seperti seorang bocah.

Kukatakan tidak usah. Bekas-bekas pukulan itu memang jelas sekali dan

seperti juga mengiris-ngiris kulitku. Kusuruh ia istirahat dulu di sebuah kamar

di

basement

kantor yang memang sering digunakan untuk itu, setelah

kubelikan makan pagi.

* * *

Aku kembali ke rumah untuk melanjutkan sedikit lagi tidurku yang terganggu

tadi. Kasihan juga, pikirku. Usianya yang sudah tidak dapat dikatakan muda

lagi, tubuhnya yang agak kurus kering dan wajahnya yang begitu melas dan

kuyu. Aku ingat ibuku. Sebelum kutinggalkan kantor, kukatakan kepada seorang

pembantuku bahwa tak seorang pun boleh menemuinya. Kalau majikannya

datang atau siapa pun menanyainya, suruh ia tunggu di ruang tamu, sampai

aku datang. Biarkan perempuan itu istirahat secukupnya. Aku pun ingin istirahat

juga.

Satu jam kemudian bel pintuku berdering lagi. Paling-paling pembantuku

di kantor itu datang lagi. Betul, ia sudah berdiri di situ tatkala pintu kubuka.

“Majikannya datang,” katanya padaku singkat.

“Mau mengambil perempuan itu?”

“Maunya begitu, tapi saya suruh ia menunggu di ruang tamu.”

“Bagus.”

Aku sengaja berlambat-lambat mandi, sarapan, dan berpakaian. Hari ini

dan besok adalah hari libur yang aku punya hak untuk menikmatinya. Baru

satu jam kemudian, kutemui si majikan itu. Ia seorang wanita yang cukup

menawan, sekitar tiga puluhan usianya, bersama seorang pria yang kukira

seorang lelaki Barat.

“Saya Howeida,” katanya memperkenalkan dirinya padaku tatkala kami

salaman. “Ini teman saya, Richard.”

“Oo ya, apa yang dapat saya bantu untuk Anda?” tanyaku pura-pura tidak

tahu.

“Begini. Pembantu saya, Suminten, melarikan diri tadi pagi setelah mencuri

sejumlah uang saya.”

Bab 2 Seni itu Indah

29

“Betul. Ada kira-kira beberapa ratus

pound

yang ia curi.”

“Saya tanyakan dulu nanti sama dia.”

“Sebab, itu saya minta ia kembali ke rumah bersama saya.”

“Oo, itu yang tidak dapat. Ia tidak mau lagi kembali kepada Anda.”

“Kan ia pembantu saya? Saya telah membayarnya tiap bulan dan saya

telah membayar segala sesuatu yang berkenaan dengan keberangkatannya

kepada perusahaan yang mengelolanya di negeri Anda”

“Betul. Tapi, Anda telah memperlakukannya tidak manusiawi. Malah Anda

telah menganggapnya lebih hina dari binatang. Anda telah memukuli seluruh

bagian tubuhnya dengan semena-mena.”

“Itu tidak betul.”

“Ia telah memperlihatkan luka-luka tubuhnya kepada saya.”

Perempuan itu terdiam, wajahnya seketika berubah. Aku pura-pura tidak

melihatnya.

“Tapi, babu itu harus kembali kepada nona ini dan Anda tidak boleh

menahannya,” tiba-tiba si lelaki bernama Richard itu bangkit dari kursinya.

Kuperhatikan sejenak lelaki jangkung dan tampan itu dari kaki sampai

kepala.

“Anda bukan suami nona ini kan?” kataku agak sinis.

“Hm, bukan.”

“Anda warga negara apa?”

“Amerika.”

“Anda tak ada urusan dengan saya dan Anda sama sekali tidak boleh ikut

campur masalah kami. Ini urusan saya dengan nona ini!” kataku agak keras.

“Tapi ... saya teman Nona Howeida.”

“Teman

sih

teman, tapi ikut campur sama sekali tidak. Saya dapat

mempersilakan Anda keluar dari tempat ini kalau Anda berlaku tidak sopan

lagi.”

Pelan-pelan lelaki itu duduk kembali. Bangsat! Pikirku, mentang-mentang

dari negara adikuasa lalu merasa dirinya berhak mencampuri urusan semua

orang. Betul-betul tidak tahu diri!

“Urusan begini sebaiknya Anda jangan bawa teman

cowboy

Anda itu ke

mari,” lanjutku kepada si nona.

Perempuan itu hanya diam dan memberi isyarat sebentar dengan mataya

kepada si jangkung.

“Lantas, dapat saya ketemu dengan pembantu saya itu?”

“Ia masih tidur,” kataku.

Memang ia masih tidur tatkala sesudah itu kuketok pintu kamarnya. Waktu

sudah bangun, pertama-tama ia menolak untuk bertemu dengan majikannya

itu. Tapi, setelah kukatakan bahwa aku akan menemaninya, ia mau.

“Tadi nona ini mengatakan, bahwa engkau telah mencuri uangnya. Betul?”

“Nona itu menuduh saya begitu?” katanya heran.

“Ya,” kataku. “Itu dikatakannya kepada saya.”

“Ya Gusti, ya Allah. Saya tidak pernah mencuri apa pun dari siapa pun

selama hidup saya. Nona itu telah bohong besar!”

“Anda telah berbohong,” kataku pada nona itu. “Ia tidak mencuri uang

Nona sepeser pun.”

Perempuan itu seperti tergagap oleh kata-kataku.

Bahasa Indonesia IX SMP/MTs

30

“Tapi ... kenapa ia lari dari rumah di pagi buta begitu?”

“Sekali lagi ia tidak mencuri apa pun. Agaknya, Anda asal bilang saja.”

“Ya, kenapa ia lari dari rumah saya?”

“Karena ia tidak betah lagi hidup dengan Anda. Anda selalu menyiksa dan

memukulinya tanpa perikemanusiaan.”

Agaknya, perempuan itu mulai layu sekarang dan tak setegar seperti tadi.

Ketika kutanyakan nama lengkap dan alamatnya di sini, ia segera menjawab

tanpa menaruh curiga apa pun.

“Tapi ... saya dapat mengobatinya. Saya seorang dokter.”

“Kami di sini juga punya seorang dokter.”

“Dan saya ... berjanji tak akan memukulinya lagi.”

“Ia sudah tidak mau lagi kepada Anda. Dokter kami dapat membuktikan

dan menjadi saksi di pengadilan tentang penyiksaan itu. Saya dapat hari ini

langsung ke kantor polisi melaporkan hal itu dan Anda dapat saya jebloskan

ke dalam penjara!” kataku keras dan tanpa berkedip.

“Oo, tidak, tak usah sampai ke sana!” perempuan itu tiba-tiba saja

tertunduk pucat.

Lama juga kami berdiam diri. Lelaki bernama Richard yang suka sok itu

juga hanya diam dan memandangi perempuan itu dengan rasa iba. Setelah

beberapa lama, nona itu mengangkat wajahnya dan katanya:

“Dapat saya berbicara empat mata dengan Tuan?”

Aku tidak segera dapat memutuskan. Mungkin, perempuan itu telah begitu

ketakutan dan menyesali apa yang pernah ia lakukan. Kukatakan kepada

Suminten untuk sebentar menunggu di situ. Kuajak nona itu berbicara di

kantorku.

Ternyata kedua mata perempuan itu telah berkaca-kaca tatkala ia mulai

bicara lagi di hadapanku.

“Tak saya sangka semuanya akan berakhir begini,” katanya lirih. “Saya

menyesal sekali atas segala apa yang telah pernah saya perbuat. Tak usahlah

Anda menyeret saya ke polisi dan ke pengadilan. Saya berjanji tak akan

melakukannya lagi. Saya rela melepas Suminten pulang ke negerinya kalau

memang itu yang ia inginkan. Saya bersedia membayar semua ongkos

pulangnya, membayar semua gajinya yang tersisa walau ia tidak lagi bekerja

pada saya. Saya bersedia membayar ganti rugi atas semua perlakuan saya

yang tidak pantas, dan saya juga bersedia membayar semua ongkos

pengobatannya. Itu sama sekali tidak dapat saya bayangkan. Saya sangat

menyesal sekali, demi Allah, atas segala kelakuan saya yang tidak terhormat

itu.”

Agaknya nona itu telah begitu menyesali dirinya.

Kukatakan bahwa esok pagi kalau tak salah ada pesawat yang menuju

Jakarta. Suminten dapat naik pesawat itu, kataku.

“Oo ya, telepon saja pesan tempat sekarang juga. Hm, apa ia akan bawa

cek atau uang kontan saja?”

“Saya kira ia tidak mengerti apa itu cek dan sebagainya. Lebih baik uang

tunai saja.”

“Kalau begitu siang nanti saya kembali lagi, saya tidak bawa uang tunai.

Akan saya ganti lima ribu dolar untuk sisa gajinya, lima ribu dolar untuk kerugian

moral yang ia derita dan lima ribu lagi untuk ongkos pengobatannya nanti.

Saya tidak tahu apa itu cukup, tolong Anda katakan pada saya.”

“Mungkin sudah cukup. Tapi, akan saya tanyakan juga Suminten nanti. Ia

yang punya urusan dalam hal ini.”

Bab 2 Seni itu Indah

31

Meninggalkan kantorku dan ruang tamu juga, perempuan itu tak banyak

bicara seperti semula. Ia tampak begitu murung dan menundukkan kepala.

Ketika kutanyakan pada Suminten tentang jumlah uang yang ditawarkan, ia

hanya bilang:

“Cukup sekali, Pak. Kasihan, ia tampak sedih sekali tadi. Sebetulnya, ia

saya anggap seperti anak saya sendiri.”

“Tak ingin tambah lagi?”

“Ah, sudah cukup. Oo ya, Bapak apakan ia tadi

kok

seperti lantas lunglai

dan nurut sama Bapak?”

Aku tersenyum. Lalu kukatakan padanya dengan suara agak pelan, bahwa

tadi ia telah kuancam untuk kujebloskan ke dalam penjara. Suminten tiba-tiba

ketawa kecil cekikikan.

Kasihan ah,” katanya. “Sebetulnya ia seorang yang baik. Mudah-mudahan

juga semua perbuatannya yang lain menjadi baik juga. Ia datang ke sini untuk

belajar lagi, untuk ambil spesialis. Itu yang pernah saya dengar dari salah

seorang adiknya.”

* * *

Betul, siang itu sang nona cantik itu datang lagi, meski tidak bersama si

Richard. Ia membawa uang tunai ratusan dolar dalam sebuah amplop dan

diserahkannya kepadaku.

“Tak usah segan-segan,” katanya padaku.”Kalau uang ini memang masih

kurang, katakan terus terang kepada saya.”

Kukatakan terima kasih. Suminten juga telah saya tanya, kataku, dan ia

bilang cukup. Perempuan itu juga menyerahkan sebuah tiket pesawat yang

agaknya telah ia konfirmasikan.

* * *

Esok paginya kuantarkan Suminten ke bandara. Biasanya, aku tidak

pernah mengantarkan seorang TKW yang pulang. Itu sama sekali bukan

urusanku. Namun ini kurasa lain. Aku ingat ibuku.

“Uang sebanyak itu harap kausimpan baik-baik, misalnya di bank,” kataku

padanya sebelum meninggalkan ruang tunggu.” Atau kaubelikan sawah atau

kebun atau apalah yang berguna dan dapat berkembang.”

“Ya,” katanya

“Oo ya, memangnya Nona Howeida itu teman baik si Richard? tanyaku

lagi.

“Kemarin siang lelaki itu tidak ikut lagi waktu Nona Howeida menyerahkan

uang untukmu itu.”

“Tapi ... Tuan Richard itu sering bermalam di flat Nona Howeida dan saya

tahu sendiri mereka tidur dalam satu kamar.”

“Oo, ya?”

“Sebab itu saya katakan kemarin, mudah-mudahan kelakuan nona itu

makin lama jadi makin baik. Semoga saja ia insaf, seperti sikapnya terhadap

diri saya.”

“Dan yang jadi sopirnya, itu siapa?”

“Oo, itu sih Domo, orang sekampung saya, walau rumahnya terletak di

seberang sungai. Ia juga ...”

“Kenapa?”

Suminten ketawa kecil cekikikan, cukup lama juga.

“Ia ..., ia juga suka dipanggil oleh si nona untuk menemaninya sebelum

kenal Richard.”

Bahasa Indonesia IX SMP/MTs

32

“Oo, ya?”

Suminten ketawa cekikikan lagi, dan aku sengaja membiarkan ia

tenggelam dalam cerita yang begitu menggelitikinya.

Secara garis besar, cerpen M. Fudali Zaini tersebut bertemakan sosial

kemasyarakatan dan kemanusiaan. Setiap cerpen mempunyai tema yang

tidak sama. Tema cerpen dapat berupa kefanaan manusia, hubungan

antarmanusia, dan bermacam penyakit psikososial yang diidap oleh banyak

orang di Indonesia.

Penggunaan bahasa yang sederhana, seperti bahasa sehari-hari

menjadikan cerpen mudah dipahami. Tokoh-tokohnya pun digambarkan

secara sederhana, yaitu tokoh yang sering kita jumpai dalam kehidupan

sehari-hari.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada nilai-nilai

atau unsur kehidupan. Pada cerpen M. Fudoli Zaim pun terdapat nilai-

nilai kehidupan, di antaranya nilai religi atau agama, nilai sosial budaya,

dan nilai pendidikan atau ajaran moral.

Bandingkan cerpen 1 dan cerpen 2 yang telah kamu baca!

Simpulkan hasil perbandinganmu atas cerpen “Warisan” dan cerpen “Suminten” tersebut!

1. Apa persamaannya?

2. Apa perbedaannya?

Tugas

1. Bentuklah sebuah kelompok!

2. Carilah sebuah kumpulan cerpen dan bacalah dua buah cerpen!

3. Tentukan tema, tokoh, perwatakan, latar, dan nilai kehidupan dari cerpen tersebut!

Aspek Perbandingan

Cerpen ”Warisan”

1.

2.

3.

4.

5.

Tema

Tokoh

Perwatakan

Latar

a.

Tempat

b.

Waktu

c.

Suasana

Nilai kehidupan

Nilai agama

Nilai sosial

Nilai didik

Cerpen ”Suminten”

LL

LL

L

atihan 2.6atihan 2.6

atihan 2.6atihan 2.6

atihan 2.6

LL

LL

L

atihan 2.5atihan 2.5

atihan 2.5atihan 2.5

atihan 2.5

Bab 2 Seni itu Indah

33

A. Pilihlah jawaban yang paling benar!

1. Kritik yang baik adalah ....

a.

menutupi segala kekurangan

b. mencari kelemahannya

c.

mencari kelebihan

d. disampaikan dengan santun dan alasan logis

2. Berikut ini contoh kritik terhadap sebuah puisi ....

a.

Pilihan katanya bagus

b . Bahasa yang digunakan sangat indah

c.

Isi puisi sulit dipahami karena kata-katanya terlalu singkat

d. Puisi tersebut dikemas dengan rapi

3. Berikut ini yang termasuk kalimat pujian yang tepat adalah ....

a.

Kamu tidak sportif, pantas lawanmu kalah.

b . Kamu hanya beruntung, prestasimu biasa saja.

c.

Kamu layak mendapat juara berkat kerja kerasmu.

d. Sebenarnya prestasimu bagus, kamu hanya butuh penyempurnaan.

4. Peristiwa yang terdapat dalam cerpen itu terjadi di rumah pada waktu malam hari. Hal itu

yang dimaksud adalah ....

a.

tema

c.

latar

b . alur

d.

amanat

5. ........

“Untuk iseng Pak, mari main catur!” tantang Muhdi kepada Pak Bajuri juara catur pertama

tingkat kecamatan tahun lalu.

“Saya tidak bisa main catur, Nak!” sahut Pak Bajuri

“Ah masa!” ujar Muhdi

“Ajari jalannya, ya!

Kutipan cerpen di atas menggambarkan watak Pak Bajuri adalah ....

a.

sombong

c.

merendahkan orang lain

b . rendah hati dan ramah

d. angkuh karena juara

6. Watak Muhdi adalah ....

a. sombong

c. pendirian

b. rendah hati dan ramah

d. baik hati dan berteman

7. Selalulah senyum, kauakan dapat sesuatu, meskipun tidak selalu tepat seperti yang

kuinginkan, “kata Kakek.

Sudut pandang cuplikan cerita di atas ....

a.

orang pertama

c.

orang ketiga

b . orang kedua

d. orang ketiga di luar cerita

8. Di bawah ini yang bukan ciri syair, adalah ....

a.

bersajak aa aa

b . baris 1 dan 2 sampiran dan baris 3 dan 4 isi

c.

terdiri atas 4 baris dalam satu bait

d. semua baris adalah isi

LL

LL

L

atihan akhir bab

atihan akhir bab

atihan akhir bab

atihan akhir bab

atihan akhir bab

Kerjakan pada buku latihanmu!

Kerjakan pada buku latihanmu!

Kerjakan pada buku latihanmu!

Kerjakan pada buku latihanmu!

Kerjakan pada buku latihanmu!

Bahasa Indonesia IX SMP/MTs

34

9. Wahai muda kenali dirimu

Ialah perahu tamsil tubuhmu

Tiada beberapa lama hidupmu

Ke akhirat jua kekal diammu

Bentuk puisi tersebut disebut ....

a.

pantun

c.

mantra

b . syair

d.

gurindam

10. Inilah cerita seorang manusia

Yang selalu menanggung derita

Tiada sesaat pun bahagia

Seolah hidup ini hanya sengsara

Makna bait syair di atas adalah ....

a. kebahagiaan

c.

taubat

b. cerita manusia

d. kesengsaraan

11. Edi dapat lulus ujian .... rajin belajar

Konjungsi yang tepat untuk mengisi kalimat di atas adalah ....

a.

sehingga

c.

maka

b. karena

d.

meskipun

12. 1. Hari tidak hujan.

2. Aku pasti datang ke rumahmu.

Konjungsi untuk menghubungkan kedua kalimat tersebut adalah ....

a. seharusnya

c. jika

b. karena

d. sehingga

13. 1. Iwan naik kelas

2. Iwan mendapat hadiah

Hasil penggabungan kedua kalimat tersebut adalah ....

a.

Iwan naik kelas karena mendapat hadiah.

b . Iwan naik kelas sehingga mendapat hadiah.

c.

Iwan naik kelas atau mendapat hadiah.

d. Iwan naik kelas jika mendapat hadiah.

14. Bajuku lebih putih .... bajumu

Isian untuk kalimat rumpang tersebut adalah ....

a. dari

c. ketimbang

b. daripada

d. seputih

15. Dia takut melihatku .... melihat perampok

Isian yang tepat untuk kalimat rumpang tersebut adalah ....

a. sehingga

c. jika

b. karena

d. seolah-olah

B. Jawablah pertanyaan berikut dengan benar!

1. Buatlah kalimat yang menyatakan kritik dan pujian!

2. Sebutkan ciri-ciri syair!

3. Sebutkan ciri-ciri cerpen!

4. Buatlah dua buah kalimat dengan kata pengandaian dan pujian!

5. Buatlah kalimat dengan menggunakan kata berikut!

a.

karena

b . sehingga